Jumat, 30 Desember 2011

postheadericon Cinta dan Oportunisme Musisi Lokal

            Tulisan ini tidaklah argumentatif. Mohon maaf bila artikel ini menyinggung pembaca sebagai penikmat music, dan juga kepada musisi yang seolah-olah menghakimi.
            Bila melihat antusiasme masyarakat dalam menikmati musik, memang tidak perlu diragukan lagi bahwa masyarakat memiliki kebutuhan yang cukup signifikan terhadap musik. Bukan hanya untuk hiburan semata, tapi ada juga yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hatinya. Sadar dengan konsumsi yang tinggi dari masyarakat, musisi oportunis menggunakan keadaan ini untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka. Ajang penunjukan eksistensi nama besar dan popularitas. 
Bahkan dari kalangan musisi amateur instanpun ikut berpartisipasi tak ketinggalan. tak terhitung lagi banyaknya band-band yang lahir, dari mulai band indie sampai band yang sudah mengibarkan bendera di level internasional. Tak hanya itu, bahkan sekarang lagi booming boy dan girl band. Sebuah audisipun menjadi ciri dari pragmatisme.

Baik group band maupun boy band yang terbilang masih seumur jagung, tak jarang dikategorikan sebagai band papan atas. Pemberian gelar tidaklah main-main, ini didapat dari berbagai macam anugerah dan penjualan fantastis, Sehingga nama group meroket keras.
Mayoritas dari band baru yang langsung naik daun adalah mengangkat tema-tema cinta. Patah hati, putus asa, dan kecengengan menjadi bumbu dalam setiap lirik. Dengan syair mellow puitis dan musik yang cenderung simple statis, karya musisi anyarpun mendapat tempat cukup prestisius di telinga masyarakat. 
Dogma cinta ini yang membius masyarakat menjadi cengeng. Mungkin juga ini sebagai indicator dari banyaknya kasus bunuh diri gara-gara putus cinta. Tak sedikit orang yang frustasi lantaran gagal dalam cinta. Menjadi orang tak waras, waria bagi laki-laki, dan menjadi PSK untuk perempuan mendominasi pelarian akibat cinta.
Cinta, cinta, dan cinta… seakan-akan hanya cinta dunia yang digeluti oleh musisi ternama. Fungsionalisme musik sebagai media hiburan bagi pecintanya dan luapan rasa serta pikiran bagi pengarangnya seperti menyempit. Di manakah musik yang memberikan edukasi, mengangkat isyu publik, dan kritik sosial? Kelautkah, mati, atau tidak diekspos? Karena tidak bisa mendatangkan uang.
Nampaknya telah terjadi penyempitan dan pergeseran dari fungsi musik. Idealisme musisipun terhimpit pragmatisme.
Bila ditengok, musisi luar yang kualitasnya sudah tidak perlu ditanyakan lagi, musik bukan hanya sebagai mesin pencetak uang, kritik sosial, cinta, dan sosialisasi isyu belaka. Mereka menjadikan musik sebagai penebar propaganda, ideologi, doktrin teologi, hipnotis, dan bahkan sebagai ritual pemujaan terhadap setan. Maka tak heran jika mereka memiliki popularitas yang lebih dibanding dengan musik kosong yang hanya berisi cinta saja.
Lalu bagaimana untuk menanggulangi ini? Dalam hemat saya, yang diperlukan adalah mengangkat kembali idealisme musisi setinggi-tingginya. Karena keidealismean cenderung menempatkan musisi berada di atas awan. Dan pragmatisme merupakan angin sesasaat yang kemudian berlalu hilang. Sudah banyak kasus band-band anyar yang cenderung mengekor, album maupun singlenya meledak di pasaran, lalu nama mereka redup dan bahkan bubar.
So…hidup bukan hanya cinta. Dan musik tidak harus selalu cinta. Berjuang terus musisi dan tetap konsisten dalam idealisme masing-masing…
Share

6 komentar:

Anonim mengatakan...

musik adalah salah satu dari keindahan dunia, karna dengan musik kita terkadang terlena oleh lirik-lirik indahnya.
benar jika di katakan sekarang musik hanya bertemakan cinta dan banyak fenomena musisi yang mengekor pada singgle-singgle pupuler.

untuk kita para pecinta musik, harus bisa memilah dan memilih musik yang baik untuk di konsumsi. jangan terbawa arus musik-musik gak jelas saat ini. namun ga semua musik saat ini hanya untuk nilai popularitas atau pun pragmatisme belaka, masih banyak musisi yang terus berupaya agar nilai-nilai spiritual tetap ada dalam setiap lirik lagunya..

selamat mendengarkan musik...

noe jacoen mengatakan...

tp mungkin di indonesia, cinta itu semacam sihir atau dogma semacam itu lah,agar dapat melambungkan nama band'y di papan atas (band yang mengusung tema-tema cinta, Patah hati, putus asa, dan kecengengan)
tetapi berbeda dengan band yang bertemakan death metal,band death metal terkenal di negara tetangga tapi band tersebut kurang terkenal di insdonesia sendiri.
trs apakah kita akan menyalahkan pecinta musik sendiri atau kah tema2 yang dipakai band tersubut????

Fahmi Faneja mengatakan...

yup... kita harus bisa memilih musik yang layak untuk didengar. jangan terpengaruh dengan musik pasar yang kebanyakan cengeng dan melow. karena itu bisa berdampak buruk bagi kita.
musik bagi mereka yang memiliki kepentingan, bukan hanya sebagai untuk meraup keuntungan... tapi juga sebagai media penyebaran dogma melalui hipnotis sihir sigil...

kita tidak bisa menyalahkan siapapun, karena memang cinta sudah menjadi kebutuhan manusia. yang diperlukan adalah idealisme musisi yang berani mengangkat tema-tema diluar cinta

Anonim mengatakan...

seperti kata pepatah

Moch. Shaleh mengatakan...

Memang realitas yg ada seperti itu.. musisi yg dalam lirikny sslalu membumbui dengan aroma penyemangat kehidupan dan berbanding sebalikny dengan band" yg bau cikur seolah telah tergerus dengan modernitas, ntah dengan sengaja faktor lebel" musik yg silau melihat banjir rupiah dngn mmanfaatkan minat pecinta musik d indonesia yg hanya mengagungkan cinta belaka..
Semoga masih ada bibit musisi yg berlawann dengan apa yg terjadi hari ini.. thx..

Fahmi Faneja mengatakan...

ya...memang disamping oportunisme musisi juga ada fragmatisme dari lebel-lebel musik.

About Me

Foto Saya
Fahmi Faneja
Fundamental, Sosialis, Sekuler dan Liberal....
Lihat profil lengkapku
FAHMI FANEJA. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut